Dalam Uraian terdahulu sudah disinggung, bahwasanya ilmu tasawuf ialah tuntunan yang dapat menyampaikan manusia kepada mengenal Tuhan atau ma'rifat billah. Dan melalui tasawuf ini pula ia dapat melangkah sesuai dengan tuntunan yang paling baik dan benar, dengan akhlak yang indah dan aqidah yang kuat.
Oleh karena itu, bagi orang-orang mutashawwifin tidak mempunyai tujuan lain dalam bertaqarrub kepada Allah. Melalui Tariqat atau jalan dalam tasawuf ini, kecuali hanyalah bertujuan mencapai "ma'rifat billah" (mengenal Allah) dengan sebenar-benarnya dan tersingkapnya dinding (hijab) yang membatasi diri dengan Allah. Bagi oran-orang mutashawwafin dalam mendekatkan diri kepada Allah selalu dilandasi semangat beribadah dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup dan ma'rifatullah.
Adapun yang dimaksud dengan tujuan mencapai kesempurnaan hidup dan ma'rifatullah dalam pandangan tasawuf adalah sebagai berikut:
A. Ma'rifat Billah.
Ma'rifat billah adalah melihat tuhan dengan hati mereka secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesarannya. Tapi tidak dengan kaifiyat artinya tuhan digambarkan seperti benda atau manusia ataupun yang lain dengan ketentuan bentuk dan rupa sebagai jawaban kaefa (bagaimana zat Tuhan itu?). Dalam hal ini Sayyid Abi Bakar Al Makki menjelaskan, bahwa ma'rifat kepada Allah adalah merupakan suatu cahaya yang telah dipancarkan Allah di hati hambaNya. Sehingga dengan cahaya tersebut hamba Allah tadi bisa melihat rahasia-rahasia kerajaan Allah di bumi dan langit. Dan hamba Allah tersebut bisa mengamat-amati sifat kekuasaan dan kekuatan Tuhan.
Ketika sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq radliallah anhu saat ditanya: "dengan apa engkau melihat Tuhanmu?" Beliau menjawab: "dengan sesuatu yang telah Allah perlihatkan sendiri kepadaku. Dia tidak bisa ditemui dengan pancaindra, tidak bisa diukur dengan ukuran dan yang dekat pada kejahuanNya serta yang jauh pada kedekatanNya. Dia diatas segala sesuatu yang lain. Sungguh Maha Suci Dzat yang bersifat demikian dan tidaklah bersifat yang demikian selain Allah"
Istilah lain sebagai ganti kata ma'rifat adalah ru'yah, musyahadah dan liqa'. Ru'yah ini bisa diperoleh sesudah kas syaf, sesudah terbukanya dinding yang selalu menyelimuti antara hamba dengan sang pencipta.
Bagi para mutashawwifin, ma'rifat billah ini adalah tujuan utama dan merupakan kelezatan yang paling tinggi menurut pengakuan Imam Al Ghazali. Dimana beliau mengatakan sebagai berikut: "Kelezatan mengenal Tuhan dan melihat keindahan Ketuhanan serta melihat rahasia-rahasia hal ke-Tuhan-an adalah lebih lezat dari derajat kepemimpinan yang merupakan top dari kelezatan-kelezatan yang ada pada makhluk.
Kiranya sangat sulit menggambarkan dengan lisan atau tulisan akan kebesaran nikmat, bahagianya orang yang telah sampai pada ma'rifat akan Tuhan Maha Esa. Setelah tersingkapnya hijab yang menghalang-halangi antara Khaliq dan makhluk, sehingga seorang tokoh sufi wanita terkemuka Rabi'ah al Adawiyah mengungkapkan keindahan rasa cinta dengan Tuhan dalam sebuah sya'irnya:
"Cintaku padamu ada dua
Cinta asmara dan cinta haq buatMu
Cinta asmara...................
Penuh ingat dan sanjungan padaMu
Adapun cinta haq
Karena terbuka tabir melihatMu
Tak ada puji untuk ini dan itu aku tak berhak
Tapi dalam kedua cintaku itulah puji bagimu"
Ma'rifat billah selain merupakan nikmat yang besar bagi kaum mutashawwifin, juga menyebabkan adanya sifat malu dan mengagungkan kepada Tuhan. Sebagaimana tauhid menyebabkan ridlo dan menyerahkan diri kepada Allah.
Demikian sebagian buah ma'rifat billah yang telah diutarakan Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan dalam kitabnya "Sirajut Thalibin Juz II" seorang ulama' besar Indonesia asal Kediri Jawa Timur.
Dari uraian-uraian tersebut diatas bisa diambil suatu kesimpulan, bahwa:
1. Ma'rifat billah bisa dikasab dengan melalui beberapa tingkatan.
2. Ma'rifat billah dicapai dengan adanya Nur yang dianugerahkan Allah ke dalam hati yang bersih. Sesudah hamba itu terlepas dari belenggu nafsu dan kotoran maksiat, jadi sekali-kali tidak dicapai dengan pancaindra.
B. Insan Kamil.
Tujuan tasawuf berikutnya adalah tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan atau insan kamil. Manusia yang sudah mengenal dirinya sendiri, keberadaannya dan memiliki sifat-sifat utama.
Insan kamil dalam pandangan para mutashawwifin artinya sangat beragam. Diantaranya adalah sebagaimana diutarakan oleh Ibnul Arobi, seorang ahli tasawuf yang berfaham pantheisme atau wahdatul wujud sehingga oleh karenanya beliau dituduh oleh orang-orang ahli sunnah sebagai orang yang keluar dari Islam. Sebagai orang mulhid dan zindiq, beliau dalam masalah insan kamil ini berpendapat: "Manusia utama atau insan kamil itu adalah manusia yang sempurna karena adanya realisasi wahdah asasi dengan Tuhan yang mengakibatkan adanya sifat dan keutamaan Tuhan padanya. Dalam hal ini Bahrun Rangkuti telah mensitir pendapat Ibnul Arobi tentang insan kamil, dimana beliau mengatakan: "Menurut Ibnul Arobi, manusia utama adalah miniatur dari kenyataan (Al Haq) itu".
Masalah insan kamil yang telah diutarakan oleh Ibnul Arobi tersebut bertentangan dengan pendapat Sir Muhammad Iqbal. Sebab pendapat Ibnul Arobi itu berdasarkan dengan adanya peleburan diri Zat Tuhan dengan pribadi insan yang oleh Iqbal dinyatakan tidak mungkin sama sekali, karena Tuhan itu amat sempurna. Adapun pendapatnya tentang insan kamil senada dengan pendapat Maulana Jalaluddin Rumi yang menyatakan: "Insan kamil ialah seseorang yang sadar tentang ke-aku-annya yang trasendent (faaiq) dan abadi, yang tak diciptakan dan bersifat Ilahi. Mungkin setiap orang merealisasikannya, itulah tujuan dan akhir kehidupan. Insanul kamil langsung berhubungan dengan Tuhan, tidaklah ada lagi Nabi atau Malaikat yang mengantara padanya".
Pada dasarnya insanul kamil Iqbal Dan Imam Al Ghazali adalah sama yaitu manusia yang telah memperoleh maqom yang terdekatpada sisi Allah. Hanya saja keduanya berbeda dalam tekanan akhlaknya. Pendapat Iqbal derajat insan kamil dapat dicapai dengan menumbuhkan sifat-sifat Tuhan pada diri manusia. Maka makin sempurna mewujudkan sifat-sifat Tuhan pada dirinya, makin membulat pribadinya dan makin kuat himahnya. Sedangkan menurut pendapat Imam Al Ghazali tekanannya pada penuh harapan memperoleh rahmat Allah dengan dapat mencapai ma'rifat billah melalui latihan bertingkat yang disebut muqarabah dan muhasabah setelah menyingkirkan hal-hal yang membinasakan dan menjalankan hal-hal yang menyelamatkan. Dengan kata lain, mencapai ma'rifat billah lewat pensucian diri dari segala dosa dan menekunkan diri dengan ibadah.
Dari berbagai pendapat tentang insanul kamil diatas, bisa diambil pengertian yang sederhana bahwa: "Insan kamil ialah manusia yang berjiwa sempurna yang dekat pada sisi Allah, ia sudah dianggap cakap untuk memberi petunjuk dan menyempurnakan hamba Allah, ia pergi kepada Allah, ruju' ilallah, ilmuhu min indillah.
Posting Komentar